Rabu, 14 Oktober 2009

pentingnya perencanaan

Dalam ilmu manajemen, kita mengetahui pentingnya sebuah perencanaan. Diantara empat hal penentu keberhasilan sebuah program, perencanaan merupakan langkah awal yang harus dilewati. Akhir yang dituju akan mudah tercapai bila didukung rencana yang matang. Bahkan menurut pakar manajemen, setengah keberhasilan telah dicapai bila ada planning yang baik.Sirah generasi salaf juga mengajarkan hal yang sama. Untuk merealisasikan tujuan harus dimulai dari perencanaan. Generasi salaf bahkan melampaui pendekatan ilmu manajemen. Perencanaan yang disiapkan mereka tidak hanya terkait dengan fisik. Tapi menyentuh unsur-unsur metafisik. Perencanaan di zaman mereka diterjemahkan dengan tsiqah kepada pertolongan Allah terlebih dahulu. Sebelum membuat perencanaan lain dengan standar duniawi.Seperti kisah Umar bin Khattab. Ketika ayat ke-45 surat al-Qamar turun di Mekkah, Umar bertanya-tanya dalam hati, "Golongan apakah yang akan dikalahkan?" Sebab ayat tersebut berbunyi "Golongan itu pasti akan dikalahkan dan mereka akan mundur ke belakang." Kondisi umat Islam saat ayat itu turun belum menunjukkan sebuah kekuatan yang berarti. Apalagi untuk mengalahkan sebuah kekuatan besar. Jangankan menghancurkan satu golongan, untuk melakukan pembelaan diri saja para sahabat tidak mampu. Kondisi serba tertekan dalam setiap waktu dan kesempatan, fasilitas yang tidak memadai, jumlah yang masih sedikit, kemampuan yang serba terbatas, kepapaan dan kemiskinan yang mendera sebagian besar sahabat bila dibandingkan dengan kelapangan, kebebasan, fasilitas dan kekuatan kaum kafir Quraisy membuat seorang manusia normal harus bertanya. Golongan apakah yang akan dikalahkan oleh umat Islam saat itu? Namun Umar tetap yakin bahwa mereka akan mampu mengalahkan golongan sebagaimana yang telah dijanjikan Allah.Sampai akhirnya Umar bin Khattab memahami maksud ayat tersebut ketika menghadapi perang Badar. Saat Rasulullah hendak mengenakan baju besinya, Umar mendengar Rasulullah berkata: "Golongan itu pasti akan dikalahkan dan mereka akan mundur ke belakang". Umar akhirnya menemukan jawaban dari pertanyaan yang pernah muncul dalam hatinya di Mekkah. Golongan yang dimaksud adalah kaum kafir Quraisy di perang Badr. Yang terjadi selanjutnya, Allah membenarkan keyakinan Umar itu.Barak-barak mujahid di hari Ahzab juga menginspirasikan hal yang senada dengan kisah Umar. Keyakinan adalah amunisi utama para mujahid. Ketika semua kekuatan Arab dan Yahudi bersatu menggempur umat Islam di Madinah, Rasulullah justru menyiapkan para sahabat dengan amunisi keyakinan. Di tengah suasana mencekam, ketika 10.000 tentara dari Mekkah yang merupakan aliansi dari suku Quraisy, Ghathafan dan beberapa kabilah Arab bersatu menyerang Madinah, ketika di Madinah orang-orang Yahudi bani Quraidzah mengkhianati perjanjian damai, ketika umat Islam di Madinah dalam keadaan paceklik, ketika orang-orang munafik bergembira karena Islam telah terkepung, Rasulullah justru menancapkan keyakinan terlebih dahulu di hati para sahabat. Dengan itu, para sahabat telah memenangi pertempuran utama dalam hati mereka, sebelum mereka memasuki medan pertempuran yang sebenarnya. Medan tempur di Khandaq menyiratkan batas yang tipis antara physics war dan psycho war. Memenangkan pertempuran fisik harus dimulai dengan memenangkan pertempuran psikis. Para sahabat telah memenangi pertempuran psikis karena Allah berjanji melalui lisan Rasul bahwa istana putih yang dijaga oleh gajah dan algojo Persia, gerbang Yaman yang kokoh, dan keperkasaan Romawi di Syam akan ditaklukkan oleh umat Islam. Apalagi hanya kekuatan Arab dan Yahudi yang ada dihadapan mereka saat itu. Umat Islam di Khandaq menang karena yakin akan menang dengan pertolongan Allah Swt. Imam Nasai dalam kitab sunannya meriwayatkan peristiwa ini. Dari sahabar Barra bin Azib beliau berkata: "Rasulullah memerintahkan kami untuk menggali parit. ketika ada batu besar yang tidak mampu dipecahkan dan diangkat, para sahabat mengadu kepada Rasulullah. Rasul kemudian mengambil pemukul batu dan mulai memukul sambil mengucapkan bismillah. Pada pukulan yang pertama, sepertiga batu berhasil dipecahkan. Saat itu Rasul berkata: "Allahu Akbar. Syam telah diberikan kepadaku. Demi Allah aku dapat melihat istana merah dari tempatku berdiri di sini." Pada pukulan yang kedua Rasul berhasil memecahkan sepertiga bagian lagi. Saat itu Rasul kembali berkata: "Allahu Akbar. Persia telah dianugerahkan kepadaku. Demi Allah aku dapat melihat kota dan istana putih di Persia dari tempatku berdiri". Ketika bagian yang lain hancur pada pukulan ketiga, Rasul berkata: "Allahu Akbar. Yaman telah dilimpahkan kepadaku. Demi Allah aku dapat melihat gerbang Shan'a dari tempatku berdiri." Ibarat sebuah imunitas, tsiqah perlu disuntikkan ke tubuh umat di saat-saat lemah dan tertindas. Sama seperti janji Allah yang disuntikkan Rasul kepada para sahabat di di perang Ahzab. Agar kekuatan inti umat yang paling berharga tidak hilang. Kekuatan keyakinan kepada pertolongan Allah. Sekalipun raganya telah dirusak, fasilitasnya telah dirampas, materinya telah diberangus. Sepeninggal Rasulullah dan para sahabat, amunisi keyakinan seperti ini masih diabadikan Allah dalam al-Quran dan hadits. Begitu banyak ayat dan hadits yang mengajak kita untuk selalu menjaga dan memelihara tsiqah. Tidak ada yang berubah. Allah yang menolong Rasul dan sahabatnya di Khandaq masih sama dengan Allah yang disembah seluruh umat Islam saat ini. Rabb yang menurunkan ayat ke-45 surat al-Qamar juga masih sama dengan Rabb yang menurunkan surat al-Fatihah yang kita baca setiap salat. Firman "golongan itu pasti akan dikalahkan dan mereka akan mundur ke belakang" tetap akan abadi seabadi al-Quran. Berarti kemenangan untuk umat Islam seharusnya juga abadi seabadi firman itu sendiri.

Tidak ada komentar: